Psikologi Pendidikan: Pendidikan Multikultural
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
Pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan dan mewadahi beragan
perspektif dari berbagai kelompok kultural. Tujuan penting dari pendidikan
multikultural adalah pemerataan kesempatan bagi semua murid. Ini termasuk
mempersempit gap dalam prestasi akademik antara murid kelompok utama dengan
kelompk minoritas.
Sebagai
semua bidang, pendidikan multikultural mencakup isu-isu yang berkaitan dengan
status sosiaoekonomi, etinisitas, dan gender. Karena keadilan sosial adalah
salah satu nilai dasar dari bidang ini, maka reduksi prasangka dan pedagogi
ekuitas menjadi kkomponen utamanya. Reduksi prasangka adalah aktivitas yang
dapat diimplementasikan guru di kelas untuk mengeliminasi pandangan negatif dan
stereotip terhadap orang lain. Pedagogi ekuitas adalah modifikasi proses
pengajaran dengan memasukkan materi dan strategi pembelajaran yang tepat baik
itu untuk anak laki-laki maupun perempuan dan untuk semua kelompok etnis.
Fokus
pendidikan multikultural
H.A.R
Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultual, fokusnya
tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural
domain atau mainstream. Fokus seperti ini akan menjadi tekanan pada pendidikan
interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan tolerans
individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya
mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari
kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream.
Memberdayakan
Murid
Menurut
pandangan ini, sekolah harus memberi murid kesempatan untuk belajar tentang
pengalaman, perjuangan, dan visi dari berbagai kelompok kultural dan etnis yang
berbeda-beda (Banks, 2001, 2002, 2003). Harapannya adalah meningkatkan harga
iri minoritas, mengurangi prasangka, dan memberikan kesempatan pendidikan yang
lebih setara. Harapan lainnya adalah membantu murid Kulit Putih untuk menjadi
lebih toleran kepada kelompok minoritas dan agar baik itu Kulit Putih dan Kulit
Berwarna akan mengembangkan beragam perspektif dalam kurikulumnya.
Pengajaran
yang Relevan Secara Kultural
Pengajaran
ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan dengan latar belakang kultural dari
pelajar. Pakar pendidikan multikultural percaya bahwa guru yang baik akan
mengetahui dan mengintegrasikan pengajaran yang relevan secara kultural kedalam
kurikulum karena akan membuat pelajaran lebih efektif (Diaz, 2001)
Pendidikan
yang Berpusat Pada Isu
Dalam
pendekatan ini, murid diajari secara sistematis untuk mengkaji isu-isu yang
berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan sosial. Pendidikan ini tak hanya
mengklarifikasi nilai, tetapi juga mengkaji alternatif dan konsekuensi dari
pandangan tertentu yang dianut murid. Pendidikan yang berpusat pada isu terkeit
erat dengan pendidikan moral.
Meningkatkan
Hubungan di Antara Anak dari Kelompok Etnis yang Berbeda-beda
Ada
sejumlah strategi dan program untuk meningkatkan hubungan anak-anak dari
kelompok etnis yang Berbeda-beda. Pertama-tama, kita akan mendiskusikan salah
satu strategi paling kuat.
Kelas Jigsaw.
Aronsn (1986) mengembangkan konsep kelas jigsaw. Di kelas ini murid berbagai
latar belakang kultural yang berbeda diminta bekerja sama untuk mengerjakan
beberapa bagianyang berbeda dari suatu tugas untuk meraih tujuan yang sama.
Aronson memakai istilah jigsaw karena ia menganggap teknik ini sama seperti
menyuruh sekelmpok anak untuk bekerja sama menempatkan kepikan yang berbeda
untuk melengkapi teka-teki permainan jigsaw.
Terkadang
strategi kelas jigsaw ini ddeskripsikan sebagai upaya menciptakan tujuan utama
atau tugas bersama untuk murid. Tim olahraga, produksi drama, dan pentas musik
adalah contoh lain dari konteks dimana murid secara kooperatif dan kadang penuh
semangat berusaha berpartisipasi untuk mencapai tujuan utama.
Kontak Personal dengan Orang lain
dari Latar Belakang Kultural yang Berbeda. Kontak itu
sendiri tidak selalu berhasil meningkatkan hubungan. Yang penting disini adalah
apa yang terjadi setelah anak tiba di sekolah. Hubungan akan meningkat ketika
murid saling berbicara satu sama lain tentang kecemasan mereka, kesuksesan
mereka, kegagalan mereka, strategi mereka untuk mengatasi masalah, dan
sebagainya. Ketika murid mengungkapkan informasi personal mereka sendiri,
mereka lebih mungkin untuk dianggap sebagai manusia ketimbang sebagai bagian
dari suatu kelompo. Berbagi informasi personal sering kali akan melahirkan
penemuan ini: orang dari berbagai latar belakang berbagi harapan yang sama,
kecemasan yang sama, dan perasaan yang sama. Berbagi informasi personal dapat
membantu memecahkan rintangan yang menyekat antar kelompok dan sekat diantara
kami/mereka.
Pengambilan Perspektif.
Latihan dan aktivitas yang membantu murid melihat perspektif orang lain dapat
meningkatkan relasi antar etnis. Dalam satu latihan, murid-murid belajar
perilaku tertentu yang tepat dari dua kelompok kultural yang berbeda (Shirt,
1997). Kemudian, kedua kelompok itu berinteraksi satu sama lain sesuai dengan
perilaku tersebut. Hasilnya, mereka merasakan kegelisahan sekaligus pemahaman.
Latihan ini didesain untuk membantu murid memahami gegar budaya yang muncul
sebagai akibat dari berada di setting kultural dimana murid juga diajak untuk
menulis cerita atau memainkan drama yang berisi prasangka atau diskriminasi.
Dengan cara ini murid “masuk ke dunia” murid lain seperti apa rasanya
diperlakukan secara tidak adil (Cushner, McClelland, & Stafford, 1996).
Pemikiran Kritis dan Intelegensi
Emosional. Murid yang belajar Berpikir secara mendalam dan
kritis tentang relasi antar etnis kemungkinan akan berkurang prasangkanya dan
tidak lagi menstereotipkan orang lain. Murid yang berpikir dangkal seringkali
lebih banyak berprasangka. Akan tetapi, jika murid belajar mengajukan
pertanyaan, memikirkan dahulu isunya ketimbang jawabannya, dan menunda dahulu
penilaian sampai informasi yang lengkap sudah tersedia, maka prasangka akan
datang.
Kecerdasan
emosional berarti punya kesadaran diri tentang emosi, mengelola emosi, membaca
emosi, dan menangani hubungan. Pikirkan bagaimana keahlian intelensi emosional
berikut ini bisa membantu murid untuk meningkatkan hubungannya dengan orang
lain yang berbeda: memahami sebab perasaan orang lain, bagus dalam mengelola
kemarahannya sendiri, bisa enjadi pendengar yang baik atas apa yang dikatakan
orang lain, dan termottivasi untuk berbagi dan bekerja sama dengan orang lain.
Mengurangi Bias.
Louise Derman-Sparks dan Anti-Bias Curriculum Task Force (1989) menciptakan
sejumlah alat untuk membantu anak mengurangi, mengelola, atau bahkan
mengeliminasi ‘bias’. Pendukung kurikulum antibias ini berargumen bahwa kendati
perbedaan itu baik, namun deskriminasi bukan sesuatu yang baik. Kurikulum ini
lebih mendorong guru untuk menghadapi isu bias yang mengganggu ketimbang
menutup-nutupi bias itu.
Meningkatkan toleransi.
Teaching Tolerance Project menyediakan
sumber daya dan materi kepada sekolah untuk meningkatkan pemahaman antar kultur
dan hubungan antar anak Kulit Putih dengan Kulit Berwarna.
Sekolah dan Komunitas sebagai Satu
Tim.
Ada tiga aspek penting dari Comer Project, yakni: (1) penerintah dan tim
manajemen yang mengembangkan rencana sekolah yang komprehensif, penilaian
strategi, dan program pengembangan staf; (2) tim pendukung sekolah dan
kesehatan mental; dan (3) program orang tua (Goldberg, 1997). Program Comer
menekankan pendekatan no-fault (yakni fokus pada pemecahan masalah, bukan
saling menyalahkan), tidak ada keputusan kecuali melalui konsensus dan tidak
ada “paralysis” (yakni, tidak ada
suara tidak setuju yang bisa menghadang keputusan mayoritas).
Isu
Apakah Inti Nilai “Putih” Mesti Diajarkan atau Tidak
Beberapa
pendidik menentang penekanan pada pemberian informasi tentang kelompok etnis
yang berbeda melalui kurikulum sekolah. Mereka juga menentang pendidikan
etnosentris yang menekan pada kelompok minoritas non- Kulit Putih. Dalam satu proposal
Arthur Schlesinger (1991) mengatakan bahwa semua murid seharusnya diajari
seperangkat nilai inti, yang menurutnya berasal dari tradisi Anglo-Protestan
Kulit Putih. Nilai-nilai ini mencakup saling menghargai, hak individu, dan
toleransi pada perbedaan. Kritik terhadap pandangan Schlesinger ini menyatan
bahwa nilai-nilai ini bukan khusus milik Anglo-Protestan Kulit Putih, tapi
nilai yang juga dimiliki semua kelompok agama dan etnis di Amerika. Bahkan,
pendidikan multikultural juga memasukkan tradisi barat.
Jadi,
pendidikan multikultural dikritik oleh orang yang berpendapat bahwa semua anak
seharusnya diajari satu nilai inti bersama, terutama nilai Anglo-Protestan
Kulit Putih. Namun, pendukung pendidikan multikultural tidak menemtang
pengajaran nilai inti seperti itu selama ia tidak keseluruhan kurikulum.
Komentar
Posting Komentar